Oleh: S. Tedjo Kusumo *
[1]
Gus,
izinkan aku sedikit mencatat ingatan tentang cahayamu
meski, rasanya tak mungkin bisa mengimajikan tentangmu
mengenang matra pesonamu, hanyalah air mata
yang tumpah membasahi wajahku
kau yang pasang badan atas ketakadilan negaramu
kau yang terdepan menyuarakan hakikat cinta dan kemanusiaan itu
kau yang tulus mengulurkan tangan pada penderitaan rakyatmu
kau yang senantiasa jernih pandang ketika mata bangsamu buta,
meski kau tak bisa melihat, ternyata kau begitu banyak melihat
dibandingkan anak-anakmu; itulah ucap Yeni Wachid anakmu
bersanggul air mata, kemudian mengusapnya bahagia
apalagi kami, generasi milenial banyak yang buta hati, buta rasa
dalam menegakkan benang-benang cinta sesama
(aku harus bagaimana Gus, bisikkanlah kepada kami,
kepada bangsa ini agar pijar api itu tak terus membesar,
aku takut jika api agama itu bisa membakar bangsa kami)
Gus, maafkan kami
habislah airmata ini jika mengenang jejak kaki kenabianmu
kau yang berjalan konsisten di jalan kesetaraan umat
kau yang paling tegas membela kaum-kaum teraniaya
bangsa ini, kini dipenuhi amarah, caci maki, hujatan, berebut suci;
diliputi keangkuhan beragama seakan mereka
pemegang kunci surga, aku kangen Panjenengan Gus,
kau adalah segala cinta, kau tak butuh apa-apa;
kau hanya menebar benih-benih rahmat
yang kini begitu kami rindu kenikmatannya
Gus,
aku menangis ketika kau mengejek dirimu sendiri
tapi, kau ejek dirimu hanyalah untuk menyadarkan
manusia bejat dan yang merasa hebat
“kami pasangan sempurna, aku tak bisa melihat, isteriku tak bisa jalan;”
begitulah ungkap almukaromah, Sinta Nuriyah, kekasihmu
hem, aku hanya mengangguk;
marwah langitmu itu membentang panjang Gus.
aku kangen joke dan humormu, Gus;
karena itu, caramu menyadarkan dan memijarkan orang
sebab itulah, teknikmu melawan dan mengalahkan
musuh-musuh kehidupan bangsamu
humor-humormu telah menjadi pisau langit yang bisa mematikan
yang telah menjadi kiswah suci, yang menyadarkan!
[2]
Baiklah Gus, sesiapa yang merendahkanmu, pastilah celaka
orang-orang tak bisa membaca, tak mencatatnya
mistar jiwanya bengkok, tak mampu menarik garis lurus waktu
dari kekatamu di selempang lurus waktu
adalah wasilah mistar kenabian itu
ketika kau tinggalkan, bangsa ini dirundung kelu, duka, luka teranyam
kelindannya menerbitkan sak prasangka, silang tuduh mengapi-api
aku ingat dirimu, Gus; andai kau masih di sini,
bara kedengkian itu tak akan berkobar; sorot mata tak mudah nanar.
(kami kangen Panjenengan, Gus; kami harus bagaimana,
atau bangsa ini bagaimana; kaupasti menangis melihat bangsamu ini, Gus
kirimkan air matamu lewat pintu langit, biar membasahi bumi bangsaku;
bangsa kami, menusuk-nusuk kelu,
menyadarkan dan memijarkan kembali mata jiwa bangsamu)
ayat-ayat basah yang kauwariskan, rasanya tak cukup aku
menuliskannya; hanya tinta air mata yang terus menyentakkan
menyibak kertas putih, tabula rasa untuk menuliskannya
rasanya: tak cukup, aku menggeleng berat Gus.
tulisan di langit hari ini dipenuhi kata kangen tentangmu
(aku harus bagaimana Gus, kami harus bagaimana Gus?)
ayat-ayat humormu, Gus
adalah satire agung yang sering disalahsangkai
pedang untuk menguliti musuh-musuh politikmu
meski kau tak pernah mengenal kata musuh di taman sanubarimu
ayat-ayat humormu, Gus
adalah sinisme getir yang ditingkapi dengan pisau cemburu
betapa tajamnya mata batinmu, cahaya jiwamu
membaca dan memanah untuk membela orang lemah di sekelilingmu
ayat-ayat humormu, Gus
adalah sarkasme bumi, air bah kehidupan
yang mematikan dan menghidupkan
isyarat peringatan kerasmu menembak ketidakadilan
keberpihakan sewenang-wenang yang menyelimuti bangsamu
hidup di negara ini sangatlah susah,
duduk di bawah pohon beringin digudak (diseruduk) banteng
menunggang banteng kerubuhan pohon beringin
menghikmati ka’bah menghkhianati bangsa, kata penguasa!
(gitu saja kok repot….!)
Gus,
ayat-ayat cintamu universal, tak lekang oleh terik panas dan lebat hujan
ajaran kemanusiaanmu, memanah kesadaran umat
ayat toleransimu menghidupkan kebinekaan bangsamu
ajaran ‘kenabianmu’ menerbitkan beragam cahaya lintas umat
Gus,
izinkan aku kangen senyum sederhanamu
seumpama air kehidupan yang segar ditenggak siapapun
pesan langitmu teruntai di antara bunga-bunga di angkasa
bercahaya selaksa rembulan dan bintang-bintang
(kurindukan kembali ketika kegelapan bangsa tiba,
semoga ia tetap menjadi
cahaya, cahaya, cahaya abadi untuk bangsa kami)
Gus,
kini bangsamu di silang jalan, silap ujar karena mengejar kuasa
mereka menjelma laron-laron yang menjilati bola lampu
tak pernah mau belajar kepada kupu-kupu,
apalagi bersabar sebagai ulat, bertapa dipagut waktu di tubuh kepompong;
aku harus bagaimana, bangsa ini bagaimana Gus?
(sekumpulan pengagummu menafsiri ulang ayat-ayatmu;
ayat-ayat basah yang melintasi jarak waktu;
ada yang khusuk dan ada yang pura-pura; tapi bagaimanapun,
kau tetap cahaya kami, bulan dan matahari bangsa kami!)
Maaf kami, Gus
Tajug, 2020
(5 Januari 2020, dibacakan pada Satu Dekade HAUL Gus Dur di Graha Saraswati, 5 Januari 2019)
*Budayawan dan Sastrawan, Ketua Litbang NU Ponorogo